Australian Consulate-General
Makassar, Indonesia

Misi Perdagangan Australia yang Pertama ke Indonesia: Perhentian pertama, Makassar

Sejarah hubungan perdagangan antara Australia dan Indonesia adalah sejarah yang panjang.

Hubungan antara pesisir Australia Utara dan pulau Sulawesi, khususnya kota Makassar, secara garis besar ditentukan oleh perdagangan selama lebih dari 150 tahun. Dari pertengahan abad ke-18 atau mungkin sebelumnya, pelaut-pelaut dari Makassar menyeberangi Lautan Arafura setiap tahun untuk berdagang dengan orang asli Australia, khususnya untuk teripang, mutiara dan cangkang kura-kura, yang kemudian dijual ke pasaran besar di Tiongkok dan Jepang. Perdagangan ini berjalan terus-menerus sehingga awal abad ke-20, pada saat peraturan perbatasan antara negeri Hindia Belanda dan negeri yang baru di selatan – Komonwel Australia – mengakhirinya.

Tetapi pada tahun 1930-an orang Australia mulai melihat potensi pasar-pasar yang dekat sebagai tempat jualan produk-produk Australia yang makin berkembang. Pengusaha-pengusaha Australia mulai sadar bahwa di dekat utara Australia ada 70 juta orang (yang saat itu dikuasai oleh Belanda) yang merupakan pasar berpotensi tinggi bagi barang-barang mereka. Hubungan angkutan laut sudah mulai berkembang juga, karena pada akhir tahun 1920-an maskapai pelayaran KPM (Koninklijke Paketvaart-Maatschappij), sudah membuka pelayanan penumpang yang terjadwal antara Melbourne, Sydney dan Brisbane, dengan pelabuhan-pelabuhan di Asia termasuk Bali, Makassar, Batavia, Singapura dan Melayu Inggris. Dua kapal KPM, Nieuw Holland dan Nieuw Zeeland, yang diiklankan sebagai “kapal putih besar”, menyediakan pelayaran kelas mewah yang banyak disenangi oleh penumpang-penumpang Australia. Banyak kapal barang penumpang lainnya juga melayani trayek Australia-Asia pada tahun 1920-an dan 1930-an. Memang sebelum Perang Dunia Kedua, pelancong dari Australia merupakan 14 persen dari semua turis yang datang ke Pulau Bali, kebanyakan menumpangi kapal pesiar.

The SS Nieuw Holland (sourced from http://www.ssmaritime.com/KPM-sisters.htm _)

Sejarah yang terlupa ini menarik, maka baru-baru ini saya sangat gembira karena bisa menemukan sebuah buku yang menceritakan apa yang saya kira adalah misi perdagangan Australia yang pertama ke Indonesia. Buku ini berjudul The Cruise of the Goodwill Ship (Pelayaran Kapal Baik Hati), ditulis oleh wartawan Australia Richard J Moorhead, diterbitkan oleh Ruskin Press, Melbourne. Gaya tulisannya agak bermuluk-muluk, sesuai gaya jaman itu, tetapi buku ini menceritakan pelayaran misi perdagangan 50 orang pengusaha Australia bersama keluarganya di atas SS Nieuw Holland, dari Melbourne dan Sydney menuju Makassar, Semarang, Cirebon, Belawan Deli dan setelah itu menuju Singapura dan Melayu Inggris. Kemudian mereka kembali ke Australia. Pelayaran ini terjadi antara bulan April – Juni tahun 1933, dan merupakan misi swasta yang disponsori oleh Persatuan Produsen Australia. Beberapa pejabat pemerintah Australia mengikuti misi itu juga.

Sebagai narasi hubungan antara orang Australia dengan orang Makassar dan Jawa, cerita ini sangat membuka mata. Tetapi selama membaca buku ini kita harus sadar bahwa pada jaman itu – 86 tahun yang lalu – pandangan orang sangat berbeda dengan jaman sekarang. Moorhead melukiskan orang-orang dan tempat-tempat yang dikunjunginya dengan prasangka ras orang putih terhadap orang asli yang berlaku saat itu. Konon, masyarakat jaman itu dibagi tiga tingkat oleh Hindia Belanda dan tulisan Moorhead mencerminkan prasangka itu: orang Belanda dan orang putih lainnya yang di atas; orang Tiongkok di tengah-tengah; dan orang Melayu dan kebanyakan orang asli Nusantara, di kelas bawah.

Tetapi walaupun ada sifat paternalisme dalam tulisannya itu, yang jelas adalah Moorhead merasa sayang kepada bangsa Melayu di negeri Hindia Belanda. Dia menulis bahwa di mana saja mereka kunjungi, “Kapal Baik Hati” mereka disambut dengan meriah dan gembira. Sambutannya “sangat mengagumkan … dan membuat kami merasa kewalahan.” Semangatnya berdagang dengan Indonesia sering muncul dalam bukunya:

“Luar biasa pasar ini! Alangkah besar tantangan kami untuk memajukan keuntungan yang tersendiri yang terbuka oleh kunjungan “Kapal Baik Hati” kami.”

Moorhead menulis bahwa perhentian pertama mereka, setelah meninggalkan Australia melalui pelabuhan kota Darwin, adalah kota Makassar. Dia menggambarkan saat masyarakat umum menaiki kapal di pelabuhan Makassar: pertama-tama anak-anak sekolah Makassar “berbondong-bondong” naik kapal, “matanya gemilang, mereka berpakaian tradisional yang mirip dengan kain tartan dari Skotlandia, topinya kayak topi Skotlandia Gengarry”. Kemudian anggota masyrakat lainnya naik juga, dengan pakaian berwarna-warni yang cahayanya membuat pameran perdagangan Australia di kapal itu “kelihatan agak lesu”. Seorang peserta misi perdagangan itu mempelajari warna dan gaya kain tradisional Bugis supaya mampu memenuhi keperluan pasar itu. Setelah masyarakat umum turun dari kapal, kurang lebih 500 orang pengusaha lokal naik kapal dan mulai tawar-menawar dan membicarakan kontrak-kontrak suplai – yang laku adalah topi wanita dari Melbourne, buah kering dari Victoria dan produk-produk lainnya: banyak produk juga langsung dijual di Makassar.

Moorhead menyesali bahwa: “… dalam bercakap jual-beli kami tidak mampu memakai bahasa Melayu, yaitu bahasa yang lumrah dipakai oleh 70 juta orang negeri ini yang boleh jadi “pembeli baru” bagi kami, walaupun kami sudah datang dari jauh dan mengeluarkan banyak uang pribadi!” (Baru-baru ini di Australia kami sudah mendengar keluhan yang mirip – yaitu bahkan sekarang tidak cukup orang Australia mampu berbahasa Indonesia.)

Delegasi ini dipimpin oleh seorang pembuat topi dari Melbourne, RF Sanderson. Peserta lainnya termasuk penjual buah kering, minuman anggur Australia dan brendi; ada juga yang memamerkan hasil industri seperti suku cadang mobil, mesin dan alat radio; dan juga ada yang memamerkan bermacam kain, bahan kulit, sabun, daging sepek, biskuit, minyak harum, jus buah, bahkan keperluan kesehatan gigi (menurut surat kabar pada waktu itu). Moorhead menuliskan bahwa pada waktu itu terigu dan mentega dari Australia sudah mendominasi pasar Hindia Belanda (gandum dari Australia masih besar di pasar Indonesia), dan wakil-wakil dari sektor ini juga ikut misi perdagangan untuk memperkuat pangsa pasar. Di setiap pelabuhan jualan yang paling laku adalah di sektor makanan, baik terolah maupun tidak. Anggur Australia Selatan populer sehingga salah satu pembeli memesan banyak kerat untuk hotel luksnya yang terkenal di pegunungan. Tetapi yang disesalkan oleh pedagang-pedagang dari Australia adalah bahwa tidak ada wakil dari sektor bulu domba (wol), walaupun ternyata ada permintaan untuk bahan kain yang hangat ini.

Misi perdagangan ini menemukan bahwa pedagang-pedagang Jepang sudah masuk Hindia Belanda dalam jumlah banyak, dan mereka yang menjual bahan-bahan tekstil dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga barang yang diimpor dari Eropa dan Australia. Beberapa kali juga dalam perjalanan mereka  Australia dikritik karena melarang impor gula, padahal Hindia Belanda pada waktu itu mengizinkan impor gula dari Australia.

Moorhead juga menulis sebuah kalimat yang dapat saya gunakan dalam pidato atau laporan saya hari ini pula:

“Makassar adalah pelabuhan Hindia Belanda yang paling dekat Sydney, tetapi juga merupakan ibu kota sebuah pulau yang kaya dan belum banyak dikembangkan. Prospek masa depan untuk Australia tentu sangat menjanjikan.”

Cukup saya gantikan “Hindia Belanda” dengan “Indonesia”!

Misi perdagangan ini kemudian mengunjungi beberapa pelabuhan lain di Hindia Belanda, Singapura dan Melayu Inggris. Tetapi persinggahan mereka yang pertama adalah di kota Makassar. Dan sekarang juga orang Australia sudah kembali ke Makassar.

Pengalaman misi perdagangan swasta ini banyak dilaporkan dalam surat kabar di Australia pada pertengahan tahun 1933, terutama dari laporan-laporan tilgram Moorhead sendiri. Keberhasilan misi perdagangan swasta ini tentu saja sangat mempengaruhi keputusan Perdana Menteri Lyons pada tahun 1934 untuk mengirim misi perdagangan resmi yang pertama dari Australia ke Asia, termasuk Batavia, dipimpin oleh Menteri Hubungan Luar John Latham. Sebagai akibatnya Latham menganjurkan supaya Australia membuka Kantor Komisioner Perdagangan di Cina, Jepang dan Hindia Belanda. Jadi pada bulan Juni 1935 pemerintah Australia melantik Charles Edward Critchley sebagai Komisioner Perdagangan Australia yang pertama di Batavia. Critchley membuka kantor perwakilan di bangunan Chartered Bank di kota Batavia Lama dari bulan September 1935, dan beliau mulai menjalankan perwakilan diplomatik Australia yang pertama di sebuah negeri yang – satu dasawarsa dahsyat kemudian - akan menjadi Republik Indonesia.

                                                                                                                                                    ***