Australian Consulate-General
Makassar, Indonesia

Rehabilitasi Terumbu Karang di Pulau Badi

Saya sampai di anjungan Pantai Losari jam sembilan pagi, tempat di mana ada sebuah kapal pinisi yang masih bersandar sejak Festival Kota Makassar F8 beberapa minggu yang lalu. Sebuah hiasan yang bentuknya cantik dan manis.

Dengan hati-hati saya berjalan melewati kapal itu di atas dermaga kecil terbuat dari balok-balok plastik yang berlobang-lobang. Bau amis menyusup ke dalam hidungku dari air pelabuhan yang meluap-luap ke dermaga itu. Di situ ada juga sebuah speed boat kecil, siap untuk membawa kami ke pulau Badi yang terletak 25 menit dari Makassar melalui laut yang tenang dan rata seperti gelas kaca.

Pak Noel adalah seorang Australia yang sudah lama tinggal di Makassar. Dia menyambut saya di atas speed boat itu dan memperkenalkan krunya. Pak Noel memimpin proyek rehabilitasi terumbu karang yang termasuk paling besar di dunia, dibiayai oleh perusahaan Mars Symbioscience dan dijalankan di Pulau Badi. Perusahaan raksasa Mars sudah lama ada di Sulawesi Selatan, memang Pak Noel yang pertama membuka pabrik Mars di Kawasan Industri Makassar untuk mengolah biji kakao menjadi bahan baku coklat – yang kemudian dijadikan produk-produk Mars yang terkenal di seluruh dunia. Ya, bahan terbuat dari biji kakao SulSel tiap hari dimakan oleh jutaan orang di dunia ini!

Bersama kami dalam perjalanan ke pulau Badi ada juga Prof Jamaluddin Jompa (akrab dipanggil Prof “JJ”), Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, yang juga alumnus James Cook University di Townsville, Australia. Beliau ikut memantau proyek yang besar ini. Ada juga seorang wartawan dari Inggeris, Theodora, yang sering menulis tentang kegiatan pelestarian alam maritim.

Pak Noel dan Prof JJ membicarakan lokasi proyek

Dalam perjalanan ke Pulau Badi saya menghitung lebih dari 18 buah kapal besar sedang menunggu di Selat Makassar: tunggu gilirannya berdampar di pelabuhan Soekarno-Hatta. Saya juga melihat banyak pulau kecil, seperti Pulau Barang Lompo yang katanya mempunyai penduduk sebanyak 5,000 orang. Luar biasa, begitu banyak orang dapat hidup di atas sebuah pulau kecil.

Pulau Badi berpenduduk 2,000 orang, hampir semuanya nelayan dan keluarganya. Sejak tahun 1940-an ada orang-orang di SulSel yang mencari nafkah dengan menjual bom ikan dan racun sianida kepada nelayan-nelayan untuk dipakai mencari ikan, sehingga menyebabkan banyak terumbu karang rusak akibat praktek yang tidak ramah lingkungan itu. Pemerintah daerah sudah bersusah-payah menghapuskan praktek itu, tetapi terumbu karang yang rusak tidak mudah untuk tumbuh kembali dengan cepat.

Maka Bapak Frank Mars, pemilik perusahaan Mars yang sayang kepada SulSel ini, berkeputusan untuk menyediakan sebuah proyek: rehabilitasi terumbu karang di Pulau Badi.

Sejak dini hari puluhan orang Badi sudah mulai bekerja, mempersiapkan “laba-laba” terbuat dari besi terlapis dengan pasir yang dipakai sebagai kerangka untuk menempatkan bibit-bibit karang di tempat yang sudah kehilangan karangnya. Bibit-bibit karang diikat kepada kerangka besi itu, yang kemudian ditempatkan dengan kokoh di atas dasar laut.

Bawa "laba-laba" ke pinggir terumbu pulau Badi

Yang banyak dipakai untuk rehab terumbu karang adalah berbagai jenis karang bercabang seperti Arcopora spp, yang banyak terdapat di sekitar pulau Badi. Karang ini tumbuh cepat dan menjadi tempat pelindung untuk jenis-jenis karang lainnya, dan juga rumah baru untuk bermacam-macam ikan kecil.

Setiap hari kerja di pulau Badi, Pak Noel dan masyarakat Badi berusaha menempatkan sebanyak 250 “laba-laba” di pinggir rataan terumbu pulau. Setiap bulan mereka bekerja di lapangan selama tiga hari. Tujuannya merehabilitasi hampir setengah dari pinggiran terumbu  pulau Badi, sehingga terumbu karang di situ tumbuh dengan sehat dan kembali menjadi sumber bibit ikan dan hewan laut lainnya.

Sistem yang dipakai Pak Noel dan masyarakat Badi sangat efisien walaupun banyak membutuhkan tenaga manusia. Hasilnya lumayan bagus. Setelah satu tahun, kebanyakan tempat letakan “laba-laba” itu sudah tumbuh karang yang sehat. Setelah dua tahun tidak terlihat lagi rangka “laba-laba” tersebut, sebab sudah tertutup dengan karang hidup yang padat.

Saya sempat berengang di atas terumbu karang yang direhab di pinggir rataan karang pulau Badi dan saya sangat terkesan atas kesehatan karang itu. Bahkan ada jenis karang lainnya, seperti jenis Montipora, yang tumbuh lebih sehat daripada sebelummnya, seperti piringan hijau yang besar. Yang jelas, sistem rehabilitasi terumbu ini bukan hanya menambah populasi karang Arcopora, tetapi juga memberi peluang bagi jenis-jenis karang lainnya untuk tumbuh dengan baik.

Saya juga sempat mengambil foto Pak Noel sedang mengatur “laba-laba” baru di tempatnya. Dia dan timnya memakai alat selam untuk bekerja di situ, walaupun kedalamannya hanya dua atau tiga meter, karena pekerjaan itu memerlukan waktu dan kemampuan bertahan lama di bawah laut.

Pak Noel kokohkan laba-laba di dasar laut

Proyek Mars ini banyak membantu masyarakat pulau Badi di darat juga. Mars membangun sebuah instalasi pembudidayaan bibit ikan hias (jenis yang populer dipanggil “Nemo”) dan kuda laut. Kelompok masyarakat yang menjalankan bisnis ini di pulau Badi menjual hasilnya kepada sebuah persuahaan di Bali, yang kemudian mengekspor ikan hias itu ke Eropa dan negera-negara lain di Asia.

Di sisi kanan dermaga kecil yang ada di pulau Badi, Mars juga membangun satu gedung khusus untuk anak-anak: learning resource centre, pusat belajar yang menyediakan tempat dan bahan bacaan di pulau Badi. Sayangnya pada saat kami kunjungi pulau Badi itu, tidak ada guru di sekolahnya walaupun masih hari sekolah, jadi anak-anak banyak yang berkeliaran di pantai dan laut. Oleh karena itu, saya mencoba mengambil kesempatan di pusat belajar itu untuk membacakan buku cerita kepada beberapa anak nelayan. Nampaknya ada juga beberapa anak yang haus belajar. Pastilah kami akan kembali ke pulau Badi dan ikut membaca lagi dengan anak-anak di situ!

Akhirnya tiba saatnya Prof JJ dan saya harus kembali ke Makassar karena acara lainnya. Dalam perjalanan pulang kami melaju dengan cepat naik speed boat di atas laut yang masih tenang, walaupun musim hujan di SulSel sudah mulai beberapa hari yang lalu.

Prof JJ bercerita kepada saya pengalamannya selama beberapa tahun dalam usaha untuk melestarikan terumbu karang di seluruh Indonesia. Katanya, banyak bergantung kepada sikap dan tekad para nelayan sendiri, oleh karena merekalah yang hidup dan mencari nafkah di terumbu karang di pulau-pulau Indonesia.  Kalau mereka sadar akan pentingnya kesehatan terumbu karang dan tempat pembibitan ikan alami, maka mereka akan lebih faham bahwa praktek seperti menggunakan bom ikan dan racun sianida adalah pratek yang tidak baik dan harus dihapuskan.

Tetapi kebanyakan nelayan tidak mempunyai pendidikan yang begitu tinggi, sehingga mereka mudah terpengaruh oleh orang luar yang maksudnya tidak baik. Misalnya orang yang mengatakan bahwa menggunakan bom ikan dan racun sianida (yang orang luar itu jual) adalah jalan cepat untuk mencari ikan dan menjadi kaya.

Saya berpikir salah satu cara untuk menciptakan masa depan yang lebih baik adalah juga memperbaiki pendidikan anak-anak nelayan, sehingga mereka mempengaruhi sikap orang tuanya. Cara itu bisa berhasil!

Sebagai contoh, saya ingat waktu anak-anak saya masih kecil: mereka sering mengkritik saya karena saya suka merokok. Mereka belajar di sekolah bahwa merokok itu jelek - kata anak-anak, saya tidak mengindahkan kesehatan mereka, apalagi saya bisa mati karena kanker paru-paru. Akhirnya pengaruh mereka yang membantu saya berhenti merokok.

Mudah-mudahan anak-anak nelayan bisa mempengaruhi orang tuanya, dan menciptakan terumbu karang dan masa depan yang lebih baik, sehat dan makmur.

                                                                                                                   ***